RI News – Jari ini masih gatal untuk menulis ketimpangan, masih ingin bersuara saat ketidakadilan menganga. Namun hari-hari ini, hasrat itu lebih sering terasa sunyi. Dunia telah berubah. Banyak media tutup, redaksi dikosongkan, dan ruang-ruang editorial kini digantikan oleh algoritma. Apakah ini pertanda “matinya jurnalisme”?
Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers. Tapi alih-alih pesta, tahun ini rasanya lebih layak jika kita kirim karangan bunga. Sebab jurnalisme, sahabat kita yang dulu lantang dan kritis, kini seperti sedang terbaring koma—tanpa headline, tanpa breaking news, tanpa sirene. Ia perlahan wafat, dibunuh bukan oleh peluru, tapi oleh memo PHK, efisiensi anggaran, dan notifikasi “akun ini telah diverifikasi”.
Jurnalisme tidak mati mendadak. Ia perlahan dilumpuhkan oleh efisiensi korporasi, dilucuti oleh algoritma yang haus engagement, dan dikebiri oleh tuntutan branding pribadi. Kini, semua orang bisa jadi narasumber, redaktur, penyiar, sekaligus selebritas dari balik ring light dan akun Instagram. Pejabat tak perlu lagi diwawancara—cukup bikin vlog. Polisi tak perlu konferensi pers cukup TikTok. Lembaga cukup punya admin Canva dan channel YouTube.
Sementara jurnalis? Banyak dari mereka terjebak menjadi pengikut akun resmi, menanti rilis pers, lalu menuliskannya ulang dengan judul yang bisa bersaing di antara konten gosip dan giveaway. Investigasi jadi terlalu mahal. Narasi kritis? Tak ada sponsor. Maka jadilah berita seperti “Anak Kucing Jatuh dari Kasur, Netizen Gemas” disajikan lengkap dengan infografis dan galeri foto.
Sebagian menyebut ini disrupsi digital. Tapi ini lebih dari itu. Ini pembantaian institusional terhadap profesi yang dulunya disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Kini, jurnalis lebih mirip pengangguran terdidik. Dulu mereka menyuarakan rakyat. Kini mereka sibuk memperbarui CV, mencari posisi sebagai content strategist atau public relations bekerja untuk institusi yang dulu mereka awasi.
Ironi? Tidak. Ini tragedi. Bahkan tragikomedi. Sebab di tengah krisis eksistensial ini, kita masih merayakan Hari Kebebasan Pers seolah semuanya baik-baik saja. Padahal yang bebas hari ini bukan pers, tapi akun personal. Yang viral bukan kebenaran, tapi siapa yang paling mahir menari bersama algoritma.
Kita kini hidup dalam dunia di mana CEO berkhotbah via LinkedIn tanpa takut disalahkutip. Di mana bintang sinetron dipercaya bicara soal vaksin dan penyakit. Di mana pejabat lebih cepat menyebut “hoaks” ketimbang jurnalis bisa melakukan verifikasi fakta.
Sementara jurnalis yang tersisa harus multitugas menulis, memotret, mengedit, mengunggah, membuat caption, membalas komentar, dan semua itu dilakukan sambil menahan lapar karena honor belum cair. Mereka bukan lagi wartawan, tapi war-tawan—bertarung setiap hari hanya demi bertahan hidup di industri yang bahkan lupa siapa yang dulu membesarkannya.
Namun seperti kisah jurnalistik yang baik, selalu ada harapan di paragraf akhir.
Masih ada mereka yang menulis demi nurani, bukan demi trending. Masih ada media komunitas, blog jujur, dan akun kecil yang lebih peduli pada kebenaran daripada FYP. Mereka memang tak besar, tapi mereka adalah lilin-lilin terakhir di tengah gelapnya zaman.
Mari kita rayakan Hari Kebebasan Pers tahun ini bukan dengan seremoni kosong, tetapi dengan kesadaran. Bahwa jika hari ini kita abai terhadap jurnalisme, maka besok yang akan mati bukan sekadar profesi, tetapi kemampuan kita membedakan mana kebenaran, mana kebohongan.
SELAMAT HARI KEBEBASAN PERS
Semoga engkau tidak hanya dikenang sebagai korban zaman, tetapi kelak bangkit sebagai suara nurani yang tak bisa dibungkam.